Manusia seringkali tertutup untuk memahami
dan merenungkan kenyataan alam dan realitas
kehidupan yang mengitarinya. Jika pun
dipahami, tapi sebatas apa yang dapat dilihat
dan dirasakan. Bila sebatas ini yang hanya
dipahami, maka sampai kapanpun dia tidak
akan pernah sampai pada tujuan (Allah). Alam
semesta dengan berbagai realitas kehidupan
hanya dipahami dari sudut manfaatnya bagi
kebutuhan lahir, lepas dari dimensi bathin.
Oleh karena itu, tidak heran bila jiwa manusia
dikuasai oleh alam, bukan sebaliknya,
menguasai dan belajar dengan alam. Maka dari
itu, jiwanya menjadi kerdil, terpaku dan terbuai
alam. Merasa alam menguasai dirinya. Dan
tindakannya mengikuti alam dan realitas
kehidupan yang ada semu. Orang yang seperti
itu, adalah hidup tanpa tahu hakekat dirinya.
Mudah tertipu danjiwanya terselubung oleh
nafsu-nafsu kebendaan.
Lantas bagaimana seharusnya agar jiwa
manusia tidak terpengaruh oleh alam dan
kehidupan yang mengitarinya? Jawabannya
akan kita pahami dengan penjelasan berikut ini:
a. Pemahaman Pertama
Pemahaman pertama yang harus kita ketahui
adalah bahwa hakekat jiwa dan alam semesta
adalah satu lingkaran penuh. Jiwa dan alam
berada dalam satu lingkaran yang dibawah
naungan satu pencipta (Allah). ia tidak berubah
serta tidak mengenal batas akhir dan awal.
Serta tidak ada penyimpangan sedikit pun. Apa
yang dialami oleh manusia terhadap alam
sekelilingnya sebenarnya adalah satu kesatuan.
Ada siang, ada malam. Ada pagi, ada sore. Ada
baik, ada buruk. Kontradiksi alam yang dulihat
manusia itu sebenarnya tidak ada yang
berubah, andai merasa berubah itu hanya
anggapan manusia sendiri.
Satu contoh, coba kita perhatikan fenomena
terjadinya siang dan malam, apakah dengan
pergantian malam dan siang itu akan merubah
bentuk bumi atau bentuk matahari? Apakah
dengan pergantian malam dan siang itu akan
merubah waktu? Bukanlah pergantian malam
dan siang hanyalah perasaan manusia saja.
Bukanlah alam sendiri tetap seperti adanya,
tanpa ada perubahan apa-apa. Kemudian,
kenapa manusia selalu tertipu oleh kenyataan
yang seperti itu, sehingga jiwanya menjadi
sempit seolah-olah terhimpit oleh kenyataan
alam itu sendiri? Jawabannya, karena jiwa
manusia tidak dapat melepaskan diri,
terbelenggu dan terikat karena beranggapan
alam dan realitas dunia dengan segala
variasinya adalah satu tujuan, sehingga jiwa
sulit keluar dari lingkaran alam dan dunia yang
mengitarinya.
b. Pemahaman Kedua
Pemahaman kedua adalah pemahaman terjadap
jiwa manusia itu sendiri. Kalau alam itu bulat
dan luas, maka jiwa manusia itu sendiri adalah
bulat dan luas seperti alam. Jiwa manusia
menjadi terbatas adalah karena manusia itu
sendiri. Alam tidak akan pernah mempengaruhi
manusia untuk memperkecil kadar bulat
danluasnya jiwa. Ia tetap berdiri. Hanya saja
tergantung jiwa, apakah ia terpengaruh atau
tidak dari alam akan menjadi seluas apa yang
ia lihat, dan bahkan lebih. Tapi, jika dikerutkan
maka akan menjadi kecil seluas tempat
semayam jiwa itu sendiri.
Untuk memahami ini, kita ambil satu contoh
dari realitas kehidupan keseharian. Kita sering
diterpa dengan berbagai cobaan silih bergantio.
Untuk menghadapinya dan menempatkan kadar
besar kecilnya berbagai cobaan itu, bukankah
tergantung pada kelapangan jiwa kita sendiri.
Jika cobaan itu dianggap besar, maka jiwa akan
menjadi sempit. Tapi jika cobaan dianggap
kecil, maka jiwa akan bebas, lapang dan luas.
Jadi besar kecilnya jiwa dalam melihat realitas
adalah tergantung pada jiwa itu sendiri.
Realitas alam yang kita lihat, kita hadapi atau
kita jumpai sebenarnya tidak akan
mempengaruhi jiwa manusia. Hanya jiwa
manusia saja yang merasa dipengaruhi karena
begitu sempitnya jiwa.
c. Pemahaman Ketiga
Pemahaman ketiha adalah inti jiwa dan alam
itu sendiri. Inti jiwa adalah lingkaran yangluas.
Inti alam pun sebuah lingkaran luas pula. Apa
yang dilihat oleh mata sebenarnya hanyalah
“bayangan”, bukan yangsesungguhnya. Begitu
juga alam menjadi luas karena jiwa yang
melihat luas dan seluas alam itu sendiri. Besar
kecilnya alam tergantung pada jiwa manusia
masing-masing. Selama jiwa masih bersemayam
dengan perasaan yang luas, maka selama itu
pula jiwa tidak akan pernah puas.
d. Pemahaman Keempat
Orang yangmengerti tentang bagaimana luasnya
jiwa bila ia dihadapkan pada kenyataan. Ukuran
keluasan jiwa seseorang dapat diukur dari
sejauhmana ia menempatkan sesuatu pada
tempat yang seharusnya, tanpa mempengaruhi
eksistensi jiwanya. Orang yang seperti ini
adalah orang yang tidak dapat dipengaruhi
oleh sesuatu yang bersifat lahir selain apa yang
ada pada jiwanya. Dalam memahami ukuran
luas lingkaran jiwa, maka secara garis besar
dapat digambarkan sebagai berikut:
Pertama, lingkaran kecil, yaitu dimana jiwa
yangasalnya luas tapi pengaruh dari hal-hal
yang kecil maka tidak dapat menguasai dirinya.
Eksistensi jiwa teracuni bahkan larut di
dalamnya. Masalah-masalah yang kecil
sesempit rongga dadanya. Yang seharusnya
tidak perlu dipikirkan, malah justru dipikirkan,
sehingga putus asa, gelisah dan hilang
keseimbangan diri. Selama lingkaran jiwanya
masih terpengaruh kepad ahal-hal kecil, maka
selama itu pula tidak akan mengerti jiwanya
sendiri.
Kedua, lingkaran sederhana, yaitu lingkaran
jiwa seluas masalah yang dihadapinya. Jiwanya
tidak terpengaruh pada masalah kecil dan
dapat menguasai jiwanya. Masih dapat bersikap
tenang dalam menghadapi masalah. Setiap
masalah dianggap hal yang biasa-biasa saja
tapa meracuni jiwanya. Fokus jiwa dapat
ditempatkan pada tempat yang semestinya.
Jiwanya tidak akan gelisah dan senantiasa
tenang meskipun dihadapkan pada masalah-
masalah yang besar.
e. Pemahaman Kelima
Tanda-tanda orang yang mempunyai keluasan
jiwa terletak pada kepasrahan diri terjadap
alam sekelilingnya. Jiwa bukan lagi dikendalikan
oleh dirinya, tetapi dikendalikan oleh kekuatan
“Yang Tak Terbatas”, yang memiliki jiwa itu
sendiri. Andaikan ia dapat menguasai atau tidak
terpengaruh oleh alam, itu semata-mata
karunia kekuatan “Yang berada diluar jiwanya”.
Bila sese orang sampai ketingkat jiwa yang
seperti ini, berarti ia telah memiliki kekuatan
dan keluasan jiwa yang tak terbatas, sehingga
ia pun memiliki potensi untuk menguasai jiwa-
jiwa orang lain. Kemudian bagaimana caranya?
Tiada cara lain kecuali membiasakan dan
melatih diri sehingga memperoleh karunia
pengetahuan dan pemahaman tentang jiwa.
Yang memberikan karunia ini bukan dengan
usaha potensi pikiran, melainkan karunia yang
bersumber dari Pencipta Jiwa itu sendiri. Maka
dari itu, dikatakan yang 'ahli jiwa' bukan
mereka yang mempunyai segudang teori
tentang kejiwaan, melainkan mendapatkan
karunia pengetahuan hakekat kejiwaan yang
langsung diperoleh dari Sang Pencipta Jiwa,
yaitu Allah.
Selasa, 04 Maret 2014
Jiwa dan Alam Semesta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar