Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam
Islam, bahkan dalam al-Qur’an terdapat ayat-
ayat yang menggambarkan cinta Tuhan
kepada hamba dan cinta hamba kepada
Tuhan. Ayat 54 dari surat al-Maidah, “Allah
akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya.”
Selanjutnya ayat 30 dari surat ‘Ali Imran
menyebutkan, “Katakanlah, jika kamu cinta
kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah
akan mencintai kamu.”
Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti
yang berikut, “Senantiasa hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat
sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang
Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran,
penglihatan dan tangannya.”
Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf
dengan pengalaman cinta adalah seorang
wanita bernama Rabi’ah al-‘Adawiah
(713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam
kepada Tuhan memalingkannya dari segala
yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak
meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak
meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta
adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan,
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena
takut kepada neraka, bukan pula karena ingin
masuk surga, tetapi aku mengabdi karena
cintaku kepada-Nya.” Ia bermunajat,
“Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut
kepada neraka, bakarlah mataku karena
Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-
Mu yang kekal itu dari pandanganku.”
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata,
“Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan,
mata-mata telah bertiduran, pintu-pintu
istana telah dikunci, tiap pecinta telah
berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah
aku berada di hadirat-Mu.” Ketika fajar
menyingsing ia dengan rasa cemas
mengucapkan, “Tuhanku, malam telah berlalu
dan siang segera akan menampakkan diri.
Aku gelisah, apakah Engkau terima aku
sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak
sehingga aku merasa sedih. Demi
keMahakuasaan-Mu inilah yang akan
kulakukan selama Engkau beri hajat
kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari
depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi
hatiku.”
Pernah pula ia berkata, “Buah hatiku, hanya
Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah
pembuat dosa yang datang ke hadiratMu,
Engkau harapanku, kebahagiaan dari
kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai
selain Engkau.” Begitu penuh hatinya dengan
rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika
orang bertanya kepadanya, apakah ia benci
kepada setan, ia menjawab, “Cintaku kepada
Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di
dalam hatiku untuk benci setan.”
Cinta tulus Rabi’ah al-‘Adawiah kepada
Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera
dari syairnya yang berikut:
Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku Membuat aku lupa
yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau
bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-
lah puji dan untuk itu semua.
Rabi’ah al-‘Adawiah, telah sampai ke stasion
sesudah mahabbah, yaitu ma’rifah . Ia telah
melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah
sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum
sufi. Dengan kata lain, Rabi’ah al-‘Adawiah
telah benar-benar menjadi sufi.
Pengalaman ma’rifah, ditonjolkan oleh
Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma’rifah adalah
anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan
ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai
Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah
Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan
sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun
dapat menerima cahaya yang dipancarkan
Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya
yang abadi. Ketika Zunnun ditanya,
bagaimana ia memperoleh ma’rifah, ia
menjawab, “Aku melihat dan mengetahui
Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak
karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak
tahu Tuhan.”
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia
memperoleh ma’rifah karena kemurahan hati
Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan
tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat
melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam
literatur tasawuf, sufi berusaha keras
mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan
menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga
dikatakan bahwa ma’rifah datang ketika cinta
sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai
alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi
qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di
dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama,
daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan
yang disebut qalb. Kedua, daya untuk
mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga
daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr .
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya
ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan
jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi,
jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan
mempunyai daya tangkap yang besar.
Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan
dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan
makin besar daya tangkapnya, sehingga
akhirnya dapat menangkap daya cemerlang
yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat
melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-
Ghazali mengartikan ma’rifat, “Melihat
rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala
yang ada.”
Kata ma’rifat memang mengandung arti
pengetahuan. Maka, ma’rifat dalam tasawuf
berarti pengetahuan yang diperoleh langsung
dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini
disebut ilm ladunni. Ma’rifah berbeda dengan
‘ilm. ‘Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam
pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang
diperoleh melalui kalbu, yaitu ma’rifah , lebih
benar dari pengetahuan yang diperoleh
melalui akal, yaitu ‘ilm . Sebelum menempuh
jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit
syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah
mencapai ma’rifah, keyakinannya untuk
memperoleh kebenaran ternyata melalui
tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai ma’rifah dalam literatur
tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama,
kalau mata yang terdapat di dalam hati
sanubari manusia terbuka, mata kepalanya
akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya
hanya Allah. Kedua, ma’rifah adalah cermin.
Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan
dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat
orang ‘arif, baik sewaktu tidur maupun
sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat,
sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi,
cahaya yang disinarkannya gelap. Semua
orang yang memandangnya akan mati karena
tak tahan melihat kecemerlangan dan
keindahannya.
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya
ma’rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi
kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam
kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi
merasa tidak puas dengan stasion ma’rifah
saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan
Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan
Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut
ittihad.
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu
Yazid antara lain Bustami (w. 874 M).
Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya
menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad
diperlukan usaha yang keras dan waktu yang
lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu
Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai
ittihad. Ia menjawab, “Tiga tahun,” sedang
umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh
tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia
tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke
stasion ittihad.
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus
terlebih dahulu mengalami fana’ dan baqa’.
Yang dimaksud dengan fana’ adalah hancur
sedangkan baqa’ berarti tinggal. Sesuatu
didalam diri sufi akan fana atau hancur dan
sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal.
Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang
yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal)
ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari
maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam
dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam
dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang
dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan
timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan
akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan
timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul
takwa.
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih
dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam
arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud
bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi
kehancurannya akan menimbulkan kesadaran
sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut
kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi
‘l-Lah , dengan arti kesadaran tentang diri
sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri
Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan
atau manunggal dengan Tuhan.
Mengenai fana’, Abu Yazid mengatakan, “Aku
mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku
hancur, kemudian aku mengetahui-Nya
melalui diri-Nya dan akupun hidup.
Sedangkan mengenai fana dan baqa’, ia
mengungkapkan lagi, “Ia membuat aku gila
pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia
membuat aku gila kepada diri-Nya, dan
akupun hidup.” Lalu, diapun berkata lagi, “Gila
pada diriku adalah fana’ dan gila pada diri-
Mu adalah baqa’ (kelanjutan hidup).”
Dalam menjelaskan pengertian fana’, al-
Qusyairi menulis, “Fananya seseorang dari
dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan
hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada,
demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak
sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya.
Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk
lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan
terjadilah ittihad.”
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari
sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang
dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan
teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu
Yazid, antara lain, sebagai berikut, “Manusia
tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku
hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain
Allah.”
Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat
demikian, karena lafadz itu menggambarkan
Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di
belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di
hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan
Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada
Tuhan selain Engkau.
Dia juga mengucapkan, “Aku tidak heran
melihat cintaku pada-Mu, karena aku
hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran
melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau
adalah Raja Maha Kuasa.”
Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta
mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan.
Lalu, dia berkata lagi, “Aku tidak meminta dari
Tuhan kecuali Tuhan.”
Seperti halnya Rabi’ah yang tidak meminta
surga dari Tuhan dan pula tidak meminta
dijauhkan dari neraka dan yang
dikehendakinya hanyalah berada dekat dan
bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia
bertanya, “Apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?”
Tuhan menjawab, “Tinggalkan dirimu dan
datanglah.” Akhirnya Abu Yazid dengan
meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa’
dan ittihad.
Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan
dengan kata-kata berikut ini, “Pada suatu
ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia
berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat
engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak
ingin melihat mereka. Tetapi jika itu
kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-
Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat aku,
mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau.
Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di
sana.”
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini
menggambarkan bahwa ia dekat sekali
dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk
mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-
Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta
bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-
katanya, “Hiasilah aku dengan keesaan-Mu.”
Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan
terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap
dari kata-kata berikut ini, “Abu Yazid,
semuanya kecuali engkau adalah makhluk-
Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau,
Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam
ittihad, yang satu memanggil yang lain
dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini
juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan
dalam ungkapan selanjutnya, “Dialog pun
terputus, kata menjadi satu, bahkan
seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, “Hai Engkau, aku menjawab melalui
diri-Nya “Hai Aku.” Ia berkata kepadaku,
“Engkaulah Yang Satu.” Aku menjawab,
“Akulah Yang Satu.” Ia berkata lagi, “Engkau
adalah Engkau.” Aku menjawab: “Aku adalah
Aku.”
Yang penting diperhatikan dalam ungkapan
diatas adalah kata-kata Abu Yazid “Aku
menjawab melalui diriNya” (Fa qultu bihi).
Kata-kata bihi -melalui diri-Nya-
menggambarkan bersatunya Abu Yazid
dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam
diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada
hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan “Hai
Aku Yang Satu” bukan Abu Yazid, tetapi
Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-
kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada
dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada
lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-
olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai
sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata,
“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar
Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku,
maka sembahlah Aku.”
Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang
diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak
berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan.
Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,
dan sebagaimana dilihat pada permulaan
makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan,
sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja,
tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar
tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh
dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia.
Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas
betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan
kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya
Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia
pun mengatakan, “Pergilah, tidak ada di
rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di
dalam jubah ini tidak ada selain Allah.”
Yang mengucapkan kata-kata itu memang
lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung
pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan.
Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.
Sufi lain yang mengalami persatuan dengan
Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj
(858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan
Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi
hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan
debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini
karena dia mengatakan, “Ana ‘l-Haqq (Akulah
Yang Maha Benar).
Pengalaman persatuannya dengan Tuhan
tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu
Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu
dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami
persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi.
Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat
ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan
yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.
Di sini terdapat juga konsep fana, yang
dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum
tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia
mempunyai dua sifat dasar: nasut
(kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan).
Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan)
dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa
Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai
sifat diambil dari hadits yang menegaskan
bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai
dengan bentuk-Nya.
Hadits ini mengandung arti bahwa didalam
diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang
disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam
diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah
yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat
jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:
Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya
yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya
dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan
minum
Dengan membersihkan diri malalui ibadat
yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap
dan muncullah lahut-nya dan ketika itulah
nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri
sufi dan terjadilah hulul.
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair
berikut ini:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air
suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau
adalah aku.
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu
tubuh,
Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
Ketika mengalami hulul yang digambarkan
diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan,
“Ana ‘l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).
Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu
Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti
pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.
Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia
ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang
bernasib malang ini mengatakan,
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami.”
Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti
itu membuat kaum syari’at menuduh sufi
telah menyeleweng dari ajaran Islam dan
menganggap tasawuf bertentangan dengan
Islam. Kaum syari’at yang banyak terikat
kepada formalitas ibadat, tidak menangkap
pengalaman sufi yang mementingkan hakekat
dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri
sedekat mungkin kepada Tuhan.
Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya
pertentangan keras antara kaum syari’at dan
kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada
kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah
al-Ghazali datang dengan pengalamannya
bahwa jalan sufilah yang dapat membawa
orang kepada kebenaran yang menyakinkan.
Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai
tingkat ma’rifah, sungguhpun ia tidak
mengharamkan tingkat fana’, baqa, dan
ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan
al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn
Sina.
Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak
berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf
sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh
syariat sendiri. Dalam perkembangan
selanjutnya, setelah pengalaman persatuan
manusia dengan Tuhan yang dibawa al-
Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam
hulul, Muhy al-Din Ibn ‘Arabi (1165-1240)
membawa ajaran kesatuan wujud makhluk
dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj
merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan
menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya,
tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek
batin yang merupakan esensi, disebut al-
haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden
disebut al-khalq. Semua makhluk dalam
aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek
batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud
semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits
yang telah dikutip pada permulaan, pada
awalnya adalah “harta” tersembunyi,
kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-
Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia
dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah
penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam
sebagai cermin yang didalamnya terdapat
gambar Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah
bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud
alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud
alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai
bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud
Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak
tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak
ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya
dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat
dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan
banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya
satu. Yang lain dan yang banyak adalah
bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang
mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn
Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa
yang disebut Tuhan adalah alam semesta.
Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan
alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi,
sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya,
Tuhan adalah transendental dan bukan
imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di
dalam alam. Alam hanya merupakan
penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan
ini selanjutnya membawa pada ajaran al-
Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama
oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428).
Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau
penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap
tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam
keabsolutannya baru keluar dari al-‘ama,
kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada
tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah
muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial.
Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri
dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada
makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya,
pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya
dengan segala sifat-Nya.
Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau
penampakan diri Tuhan yang paling sempurna
diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya
tidak sama pada semua manusia. Tajalli
Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan
Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil,
sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian)
melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-
nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang
demikian, Tuhan menampakkan diri dalam
nama-nama-Nya, seperti Pengasih,
Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-
asma ). Pada tingkat tawassut, sufi disinari
oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu,
qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi
demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat
khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan
demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-
Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan
Kamil. Ia menjadi manusia sempurna,
mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya
terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah
bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah
yang menjadi perantara antara manusia dan
Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para
Nabi dan para wali. Di antara semuanya,
Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam
diri Nabi Muhammad.
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat
mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai
malalui ittihad serta hulul yang mengandung
pengalaman persatuan roh manusia dengan
roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang
mengandung arti penampakan diri atau tajalli
Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.
Sementara itu tasawuf pada masa awal
sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam
arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh
murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar
untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara
tarekat-tarekat besar yang terdapat di
Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada
abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran
Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M),
Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14
bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w.
1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar
(w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada
abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-
tarekat besar lain diantaranya adalah
Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia,
Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria,
Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan
Rifa’iah di Irak, Suria dan Mesir.
Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar
tersebut terkadang diselewengkan, sehingga
tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya
dari sufi untuk menyucikan diri dan berada
dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah
menyalahi ajaran dasar sufi dan syari’at
Islam, sehingga timbullah pertentangan
antara kaum syari’at dan kaum tarekat.
Sementara itu ada pula tarekat yang
menekankan pentingnya kehidupan rohani dan
mengabaikan kehidupan duniawi, dan
disamping itu menekankan ajaran tawakal
sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan
kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah
orientasi akhirat dan sikap tawakal.
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan
abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh
besar dalam masyarakat Islam. Karena
pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin
mendapat dukungan dari masyarakat menjadi
anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara
menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam
perlawanan mereka terhadap pembaharuan
yang diadakan sultan-sultan, mereka
mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi
dan para ulama Turki.
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu
orientasi akhirat dan sikap tawakal
berkembang di kalangan umat Islam yang
bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai
sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau
pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam
Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal
Ataturk memandang tarekat sebagai salah
satu faktor yang membawa kepada
kemunduran umat Islam.
Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh
materialisme yang menimbulkan berbagai
masalah sosial yang pelik. Banyak orang
mengatakan bahwa dalam menghadapi
meterialisme yang melanda dunia sekarang,
perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini
tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak
mulianya dapat memainkan peranan penting.
Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat
dalam diri para pengikutnya adalah penyucian
diri dan pembentukan akhlak mulia disamping
kerohanian dengan tidak mengabaikan
kehidupan keduniaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar