Sejarah Awal Mula Banul Jann di Bumi
sebelum nabi Adam AS
BAGI UMAT ISLAM KITA HARUS PUNYA
KEYAKINAN INI HANYA PENDAPAT YG DI
AMBIL DARI AHLI TAFSIR:
BAHWA BANGSA ATLANTIS ATAU PUN
DINASTI RAMA BUKANLAH DARI RAS
MANUSIA KETURUNAN ADAM
DIALAH YG DI NAMAKAN 3 UMAT
TERDAHULU SEBELUM NABI ADAM YAITU:
BANUL JAN
BANUL BAN
DAN IJAJIL
DARI GOLONGAN JIN YG TERAKHIR MALAH
BERBADAN DAN BERDARAH
DARI GOLONGAN 3 UMAT TERDAHULU
ITULAH BUMI INI PERNAH MENGALAMI 3X
KIAMAT
mungkin dalam hati Kalian pernah terbesit
pertanyaan Siapakah Makhluk Sebelum
Adam?
Kalau menurut kepercayaan Ane (Muslim)
merujuk :
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman
kepada Malaikat; “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di
bumi”. Mereka bertanya (tentang hikmat
ketetapan Tuhan itu dengan berkata):
“Adakah Engkau (Ya Tuhan kami) hendak
menjadikan di bumi itu orang yang akan
membuat bencana dan menumpahkan darah
(berbunuh-bunuhan), padahal Kami
senantiasa bertasbih dengan memujiMu dan
mensucikanMu?”. Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui akan apa
yang kamu tidak mengetahuinya”
Sebelum nabi adam turun ke bumi
diceritakan bahwa yang menempati bumi ini
adalah bangsa jin yang dikelompokan
menjadi abal jan dan banul jan dan dari 2
kelompok tersebut bertempur terus tidak
pernah bersahabat, kemudian malaikat
menanyakan kepada Allah apa akan
membuat orang untuk menjadikan kholifah
dibumi yang selalu yasfiquddima
(pertumpahan darah), akhirnya Allah
memerintah yang bernama ‘azajil yang
memimpin para malaikat jibril mikail izroil
dan malaikat yang lainnya, untuk
menaklukan abal jan dan janul jan dibumi
ini, kemudian setelah ditaklukan akhirnya
Allah menciptakan nabi Adam, diantara
‘azajil, malaikat dan adam diberikan ilmu
oleh Allah karena tujuannya untuk
menjadikan kholifah dibumi, setelah diuji
ternyata yang lulus dari ujian tersebut
adalah nabi Adam akhirnya semuanya
diperintah Allah untuk sujud penghormatan
kepada Adam “fasajaduu illa Iblis”,
akhirnya semuanya sujud kecuali ‘azajil
(bangsa Iblis) mereka sombong dan
membangkang “aba wastakbaro”.
manusia tidak diciptakan dibumi, tapi
manusia dijadikan khalifah di bumi, sebagai
pengganti tentunya ada yang di ganti, alias
Adam bukan makhluk pertama dibumi, dan
Allah tidak mengatakan untuk mengganti
manusia sebelumnya, tapi pengganti
makhluk di bumi, yaitu abal jan dan banul
jan, mereka itu adalah penghuni bumi
sebelum manusia.
Bentuk basyariahnya tak jauh berbeda
dengan manusia, maka anda bisa buktikan
bahwa makhluk selain manusia, punya
badan yang sama seperti manusia, yaitu
banul jan, anak turun Jin, juga banul ban
anak turun dedemit, maka ketika bumi rusak
oleh mereka, mereka diusir bahkan dibasmi
oleh malaikat, hingga mereka berlari terbirit-
birit dan mencari tempat yang jauh dari
anak Adam.
Spoiler forKalau dari segi Archeology:
Berdasarkan fosil-fosil yang ditemukan,
memang ada makhluk lain sebelum
manusia. Mereka seperti manusia, tetapi
mempunyai karakteristik yang lebih primitif.
Otak mereka lebih kecil. Oleh karena itu,
kemampuan mereka berbicara sangat
terbatas karena tidak banyak suara vowel
yang mampu mereka bunyikan. Kelompok ini
dinamakan Neanderthal.
Kemudian datanglah manusia Adam yang
diklasifikasikan sebagai Homo Sapiens.
Menurut Wikipedia, Homosapiens mulai ada
sekitar 200 ribu tahun lalu. Sedangkan
Neonderthal ada sehingga 130 ribu tahun
dulu, kemudian ia lenyap. Ada juga teori
yang mengatakan Neonderthal lenyap
sebelum Homosapiens muncul. Tapi yang
pasti, Homosapiens bukanlah evolusi dari
Neanderthal. Neanderthal hanyalah makhluk
seakan manusia yang telah ada sebelum
kita (manusia Homo sapiens) ada.
Mungkin tidak ada fakta konkrit dalam
membicarakan isu ini. Kebanyakan teori
berdasarkan sumber fosil. Namun yang
paling penting mungkin sebagai bagi yang
Muslim kita percaya ada makhluk sebelum
Adam yang saling membunuh. Ada yang
mengatakan mereka adalah dari kaum jin.
Ada juga yang mengatakan bahwa ada 3
umat yang utama sebelum Adam. Dua
diantaranya dari kaum jin. Sedangkan kaum
yang ketiga adalah dari golongan yang
berbeda dari Jin, karena mereka ini berdarah
dan berdaging. Golongan ketiga ini adalah
mereka yang dimaksudkan sebagai “man
yufsidu feehaa wa yasfiku al-dimaa’:
golongan yang membuat kerusakan dan
menumpahkan darah” seperti yang diulas
oleh Malaikat di dalam ayat al-Quran 2: 30.
Ini pendapat yang dilontarkan oleh Al-
Maqdisi.
Sesungguhnya manusia yang pertama kali di
jadikan oleh Alahh SWT adalah ” ADAM AS
“. Beliau di jadikan dari tanah yang di
bentuk manusia, lalu di tiupkan
rohkepadanya lantas jadilah berupa manusia
( berupa darah , daging , ruh )berupa Nabi
Adam As.
Sebelum ADAM wujud
Sebelum Allah SWT mewujudkan Nabi Adam
As ( manusia pertama ) Allah SWT sudah
menjadikan dua mahkluk yang berakal ,
berupa :
1. Mahkluk yang berupa malaikat
2. Mahkluk yang berupa Banul-Jan/Iblis
Adapun asal mula kejadian kedua mahkluk
tersebut adalah :
Malaikat : di jadikan dari Nur ( cahaya )
yang suci yang berupa ruh dan akal tidak
ada syahwatnya. Kerena itu malaikta tidak
makan , minum dan juga tidak beristri ( lain
dengan manusia ), hidup malaikta semata-
mata hanya melaksanakan perintah Allah
SWT, laiya tidak di laksanakan.
Banul-Jan : Dijadikan dari api. Berbentuk
sebagai manusia membutuhkan makan ,
minum dan beristri dan juga mempunyai
keturunan yang banyak sekali.
Sedangkan untuk asal mula Nabi Adam As.
dijelaskan dalam sebuah ayat ( S.Al Hijr :
28 , dan S. Shood 71-72 ), yakni :
Sesungguhnya Allah Swt.berfirman kepada
para malaikat untuk membuat manusia yang
asal mula kejadianya dari tanah liat kering
( yang berasal ) dari lumpur hitam yang di
beri bentuk. ( S. Al. Hijr : 28 ) Atau kejadian
manusia itu dari tanah. (Shood ayat 71-72 )
Sesudah diberi ruh ( nyawa ) kemudian
hidup dengan daging , darah dan tulang.
Sesudah Nabi Adam As. wujud, maka Allah
Swt. memerintahkan pera malaikat intuk
bersujud kepada Nabi Adam As. Semua para
malaikat sama melaksanakan sujud kecuali
iblis yang menolak perintah Allah Swt, Untuk
bersujud pada Nabi Adam As. Karena Iblis
bersifat takabur , sombong dan merasa lebih
mulya dari Nabi Adam As, Sebab dijadikan
dari api sedangkan Nabi Adam dari tanah.
Karena itu iblis termasuk golongan orang
kafir , Karena itu Allah Mengusirnya dari
Surga. Adapun sujudnya para malaikat pada
Nabi Adam As. tadi bukanlah sujud ibadah
sebagaimana sjudnya orang sholat, tetapi
sujud Ta’ata tau tunduk memulyakan atau
menghormati Nabi Adam As. Karena Nabi
Adam As, mempunya ilmu pengetahuan dari
Allah Awt. hingga bisa menberi nama pada
barang-barang yang di tanya pada pada
Adam. sedangkan malaikat tidak
mengetahuinya. Allah berfirman dalam
( surat Shood 71-72 ).
Artintya :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepafa
paramalaikat , sesungguhnya aku
mencipatakan manusia dari tanah , maka
apabila telah aku semprunkan kejadianya
dan kutiupakan kepadanya Ruh ( ciptaanku )
ku. hendaklah kamu tersungkur dengan
sujud kepadanya.
Allah Swt. Berfirman dalam ( Surat Al A’raf
Ayat 11 ) :
Artinya :
Sesunggunya kami telah menciptakn kamu
( Adam ) lalu kami bentuk tubuhmu,
kemudian kami katakan pada para
malaikat : ersujudlah kamu kepada Adam ,
maka merekapun bersujud kecuali Iblis , dia
tidak termasuk mereka yang sujud.
Allah bertanya pada Iblis apakah yang
menghalangimua untuk bersujud kepada
( Adam As )di waktu aku menyuruhmu? Iblis
menjawab : saya lebih baik dari adam ,
engkau menciptakan aku dari api , sedang
dia ( Adam ) engkau ciptakan dari tanah,
maka Allah Swt. Berfirman dalam
( surat A’raf ayat 13 ) :
Artinya :
Allah Swt berfirman , turunlah kamu dari
Surga itu, karena kamu tak sepatutnya
menyombingkan diri di dalamnya, maka
keluarlah. sesungguhnya kamu termasuk
orang-orang yang hina.
Sesudah keadaan Iblis di keluarkan oleh
Allah dari Surga, Maka Iblis meminta pada
Allah agar umurnya di panjangkan ( tidak
mati ) hingga datangnya hari kiyamat
( rusaknya semua mahkluk ). Iblis
mengancam kepada Nabi Adam dan anak
cucunya , akan di bujuk rayu dan
disesatkan , dari jalan ( tuntunan ) yang
benar, hingga tidak ada yang ( ta’at )
mengikuti perintah Allah swt, dan menjauhi
semua larangannya sehingga Iblis dan
Syetan bertujuan membjuk dengan
bermacam-macam cara dari segala jurusan ,
baik dari arah (sebelah ) kanan, kiri serta
arah muka dan belakang,sampai mengikuti
bujuk rayunya serta menjadi temanya
hingga bisa masuk bersama-sama ke dalam
siksa Allah Swt ke Neraka. Karena itu Allah
memberikan perjanjian kepada Adam ( anak
cucunya ) siapa yang mengikuti tingkah
laku syetan/iblis , maka dia menjadi
temanya dan nantinya akan aku masukan ,
kesisaku yaitu Neraka ( tempat Iblis dan
teman-temanya ).
Sesuai dengan firman Allah Swt. ( Surat Al-
A’raf : 16 )
Artinya :
Dia menjawab, karena engkau telah
menghukum kami tersesat, maka kami akan
benar-benar ( menghalangi ) mereka dari
jalan ( agama ) engkau yang lurus.
Kemudian saya kan mendatangi mereka dari
muka dan dari belakang merekam dari
kanan dan dari kiri mereka, dan mereka
tidak akan mendapatkan mereka bersyukur
( taat ) maka Allah berfirman keluarlah
kamu dari surga itu. Sebagai orang terhina
dan terusir, barang siapa diantara mereka
mengikuti kamu , benar-benar aku akan
mengisi Neraka jahanam dengan kamu
semuanya.
Wallahu'alam bisowab
Minggu, 28 September 2014
Atlantis, Rama, Mahabarata ada sebelum Adam
Selasa, 16 September 2014
Mistikus Cinta
Mencintai Tuhan tidaklah dilarang dalam
Islam, bahkan dalam al-Qur’an terdapat ayat-
ayat yang menggambarkan cinta Tuhan
kepada hamba dan cinta hamba kepada
Tuhan. Ayat 54 dari surat al-Maidah, “Allah
akan mendatangkan suatu umat yang
dicintai-Nya dan orang yang mencintai-Nya.”
Selanjutnya ayat 30 dari surat ‘Ali Imran
menyebutkan, “Katakanlah, jika kamu cinta
kepada Tuhan, maka turutlah Aku, dan Allah
akan mencintai kamu.”
Hadits juga menggambarkan cinta itu, seperti
yang berikut, “Senantiasa hamba-Ku
mendekatkan diri kepada-Ku melalui ibadat
sehingga Aku cinta kepadanya. Orang yang
Ku-cintai, Aku menjadi pendengaran,
penglihatan dan tangannya.”
Sufi yang masyhur dalam sejarah tasawuf
dengan pengalaman cinta adalah seorang
wanita bernama Rabi’ah al-‘Adawiah
(713-801 M) di Basrah. Cintanya yang dalam
kepada Tuhan memalingkannya dari segala
yang lain dari Tuhan. Dalam doanya, ia tidak
meminta dijauhkan dari neraka dan pula tidak
meminta dimasukkan ke surga. Yang ia pinta
adalah dekat kepada Tuhan. Ia mengatakan,
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena
takut kepada neraka, bukan pula karena ingin
masuk surga, tetapi aku mengabdi karena
cintaku kepada-Nya.” Ia bermunajat,
“Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut
kepada neraka, bakarlah mataku karena
Engkau, janganlah sembunyikan keindahan-
Mu yang kekal itu dari pandanganku.”
Sewaktu malam telah sunyi ia berkata,
“Tuhanku, bintang di langit telah gemerlapan,
mata-mata telah bertiduran, pintu-pintu
istana telah dikunci, tiap pecinta telah
berduaan dengan yang dicintainya, dan inilah
aku berada di hadirat-Mu.” Ketika fajar
menyingsing ia dengan rasa cemas
mengucapkan, “Tuhanku, malam telah berlalu
dan siang segera akan menampakkan diri.
Aku gelisah, apakah Engkau terima aku
sehingga aku bahagia, ataukah Engkau tolak
sehingga aku merasa sedih. Demi
keMahakuasaan-Mu inilah yang akan
kulakukan selama Engkau beri hajat
kepadaku. Sekiranya Engkau usir aku dari
depan pintuMu, aku tidak akan bergerak,
karena cintaku kepada-Mu telah memenuhi
hatiku.”
Pernah pula ia berkata, “Buah hatiku, hanya
Engkaulah yang kukasihi. Beri ampunlah
pembuat dosa yang datang ke hadiratMu,
Engkau harapanku, kebahagiaan dari
kesenanganku. Hatiku telah enggan mencintai
selain Engkau.” Begitu penuh hatinya dengan
rasa cinta kepada Tuhan, sehingga ketika
orang bertanya kepadanya, apakah ia benci
kepada setan, ia menjawab, “Cintaku kepada
Tuhan tidak meninggalkan ruang kosong di
dalam hatiku untuk benci setan.”
Cinta tulus Rabi’ah al-‘Adawiah kepada
Tuhan, akhirnya dibalas Tuhan, dan ini tertera
dari syairnya yang berikut:
Kucintai Engkau dengan dua cinta,
Cinta karena diriku dan cinta karena diri-Mu,
Cinta karena diriku Membuat aku lupa
yang lain dan senantiasa menyebut nama-Mu,
Cinta kepada diri-Mu,
Membuat aku melihat Engkau karena Engkau
bukakan hijab,
Tiada puji bagiku untuk ini dan itu, Bagi-Mu-
lah puji dan untuk itu semua.
Rabi’ah al-‘Adawiah, telah sampai ke stasion
sesudah mahabbah, yaitu ma’rifah . Ia telah
melihat Tuhan dengan hati nuraninya. Ia telah
sampai ke stasion yang menjadi idaman kaum
sufi. Dengan kata lain, Rabi’ah al-‘Adawiah
telah benar-benar menjadi sufi.
Pengalaman ma’rifah, ditonjolkan oleh
Zunnun al-Misri (w.860 M). Ma’rifah adalah
anugerah Tuhan kepada sufi yang dengan
ikhlas dan sungguh-sungguh mencintai
Tuhan. Karena cinta ikhlas dan suci itulah
Tuhan mengungkapkan tabir dari pandangan
sufi dan dengan terbukanya tabir itu sufi pun
dapat menerima cahaya yang dipancarkan
Tuhan dan sufi pun melihat keindahan-Nya
yang abadi. Ketika Zunnun ditanya,
bagaimana ia memperoleh ma’rifah, ia
menjawab, “Aku melihat dan mengetahui
Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak
karena Tuhan aku tidak melihat dan tidak
tahu Tuhan.”
Yang dimaksud Zunnun ialah bahwa ia
memperoleh ma’rifah karena kemurahan hati
Tuhan. Sekiranya Tuhan tidak membukakan
tabir dari mata hatinya, ia tidak akan dapat
melihat Tuhan. Sebagaimana disebut dalam
literatur tasawuf, sufi berusaha keras
mendekatkan diri dari bawah dan Tuhan
menurunkan rahmat-Nya dari atas. Juga
dikatakan bahwa ma’rifah datang ketika cinta
sufi dari bawah dibalas Tuhan dari atas.
Dalam hubungan dengan Tuhan, sufi memakai
alat bukan akal yang berpusat di kepala, tapi
qalb atau kalbu (jantung) yang berpusat di
dada. Kalbu mempunyai tiga daya, pertama,
daya untuk-mengetahui sifat-sifat Tuhan
yang disebut qalb. Kedua, daya untuk
mencintai Tuhan yang disebut ruh. Ketiga
daya untuk melihat Tuhan yang disebut sirr .
Sirr adalah daya terpeka dari kalbu dan daya
ini keluar setelah sufi berhasil menyucikan
jiwanya sesuci-sucinya. Dalam bahasa sufi,
jiwa tak ubahnya sebagai kaca, yang kalau
senantiasa dibersihkan dan digosok akan
mempunyai daya tangkap yang besar.
Demikian juga jiwa, makin lama ia disucikan
dengan ibadat yang banyak, makin suci ia dan
makin besar daya tangkapnya, sehingga
akhirnya dapat menangkap daya cemerlang
yang dipancarkan Tuhan. Ketika itu sufi pun
bergemilang dalam cahaya Tuhan dan dapat
melihat rahasia-rahasia Tuhan. Karena itu al-
Ghazali mengartikan ma’rifat, “Melihat
rahasia-rahasia Tuhan dan mengetahui
peraturan-peraturan Tuhan tentang segala
yang ada.”
Kata ma’rifat memang mengandung arti
pengetahuan. Maka, ma’rifat dalam tasawuf
berarti pengetahuan yang diperoleh langsung
dari Tuhan melalui kalbu. Pengetahuan ini
disebut ilm ladunni. Ma’rifah berbeda dengan
‘ilm. ‘Ilm ini diperoleh melalui akal. Dalam
pendapat al-Ghazali, pengetahuan yang
diperoleh melalui kalbu, yaitu ma’rifah , lebih
benar dari pengetahuan yang diperoleh
melalui akal, yaitu ‘ilm . Sebelum menempuh
jalan tasawuf al-Ghazali diserang penyakit
syak. Tapi, menurut al-Ghazali, setelah
mencapai ma’rifah, keyakinannya untuk
memperoleh kebenaran ternyata melalui
tasawuf, bukan filsafat.
Lebih jauh mengenai ma’rifah dalam literatur
tasawuf dijumpai ungkapan berikut, pertama,
kalau mata yang terdapat di dalam hati
sanubari manusia terbuka, mata kepalanya
akan tertutup dan ketika itu yang dilihatnya
hanya Allah. Kedua, ma’rifah adalah cermin.
Kalau sufi melihat ke cermin itu yang akan
dilihatnya hanyalah Allah. Ketiga, yang dilihat
orang ‘arif, baik sewaktu tidur maupun
sewaktu bangun hanyalah Allah. Keempat,
sekiranya ma’rifah mengambil bentuk materi,
cahaya yang disinarkannya gelap. Semua
orang yang memandangnya akan mati karena
tak tahan melihat kecemerlangan dan
keindahannya.
Tetapi sufi yang dapat menangkap cahaya
ma’rifah dengan mata hatinya akan dipenuhi
kalbunya dengan rasa cinta yang mendalam
kepada Tuhan. Tidak mengherankan kalau sufi
merasa tidak puas dengan stasion ma’rifah
saja. Ia ingin berada lebih dekat lagi dengan
Tuhan. Ia ingin mengalami persatuan dengan
Tuhan, yang di dalam istilah tasawuf disebut
ittihad.
Pengalaman ittihad ini ditonjolkan oleh Abu
Yazid antara lain Bustami (w. 874 M).
Ucapan-ucapan yang ditinggalkannya
menunjukkan bahwa untuk mencapai ittihad
diperlukan usaha yang keras dan waktu yang
lama. Seseorang pernah bertanya kepada Abu
Yazid tentang perjuangannya untuk mencapai
ittihad. Ia menjawab, “Tiga tahun,” sedang
umurnya waktu itu telah lebih dari tujuh puluh
tahun. Ia ingin mengatakan bahwa dalam usia
tujuh puluh tahunlah ia baru sampai ke
stasion ittihad.
Sebelum sampai ke ittihad, seorang sufi harus
terlebih dahulu mengalami fana’ dan baqa’.
Yang dimaksud dengan fana’ adalah hancur
sedangkan baqa’ berarti tinggal. Sesuatu
didalam diri sufi akan fana atau hancur dan
sesuatu yang lain akan baqa atau tinggal.
Dalam literatur tasawuf disebutkan, orang
yang fana dari kejahatan akan baqa (tinggal)
ilmu dalam dirinya; orang yang fana dari
maksiat akan baqa (tinggal) takwa dalam
dirinya. Dengan demikian, yang tinggal dalam
dirinya sifat-sifat yang baik. Sesuatu hilang
dari diri sufi dan sesuatu yang lain akan
timbul sebagai gantinya. Hilang kejahilan
akan timbul ilmu. Hilang sifat buruk akan
timbul sifat baik. Hilang maksiat akan timbul
takwa.
Untuk sampai ke ittihad, sufi harus terlebih
dahulu mengalami al-fana’ ‘an al-nafs, dalam
arti lafdzi kehancuran jiwa. Yang dimaksud
bukan hancurnya jiwa sufi menjadi tiada, tapi
kehancurannya akan menimbulkan kesadaran
sufi terhadap diri-Nya. Inilah yang disebut
kaum sufi al-fana’ ‘an al-nafs wa al-baqa, bi
‘l-Lah , dengan arti kesadaran tentang diri
sendiri hancur dan timbullah kesadaran diri
Tuhan. Di sini terjadilah ittihad, persatuan
atau manunggal dengan Tuhan.
Mengenai fana’, Abu Yazid mengatakan, “Aku
mengetahui Tuhan melalui diriku hingga aku
hancur, kemudian aku mengetahui-Nya
melalui diri-Nya dan akupun hidup.
Sedangkan mengenai fana dan baqa’, ia
mengungkapkan lagi, “Ia membuat aku gila
pada diriku hingga aku mati. Kemudian Ia
membuat aku gila kepada diri-Nya, dan
akupun hidup.” Lalu, diapun berkata lagi, “Gila
pada diriku adalah fana’ dan gila pada diri-
Mu adalah baqa’ (kelanjutan hidup).”
Dalam menjelaskan pengertian fana’, al-
Qusyairi menulis, “Fananya seseorang dari
dirinya dan dari makhluk lain terjadi dengan
hilangnya kesadaran tentang dirinya dan
makhluk lain. Sebenarnya dirinya tetap ada,
demikian pula makhluk lain, tetapi ia tak
sadar lagi pada diri mereka dan pada dirinya.
Kesadaran sufi tentang dirinya dan makhluk
lain lenyap dan pergi ke dalam diri Tuhan dan
terjadilah ittihad.”
Ketika sampai ke ambang pintu ittihad dari
sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang
dalam istilah sufi disebut syatahat (ucapan
teopatis). Syatahat yang diucapkan Abu
Yazid, antara lain, sebagai berikut, “Manusia
tobat dari dosanya, tetapi aku tidak. Aku
hanya mengucapkan, tiada Tuhan selain
Allah.”
Abu Yazid tobat dengan lafadz syahadat
demikian, karena lafadz itu menggambarkan
Tuhan masih jauh dari sufi dan berada di
belakang tabir. Abu Yazid ingin berada di
hadirat Tuhan, berhadapan langsung dengan
Tuhan dan mengatakan kepadaNya: Tiada
Tuhan selain Engkau.
Dia juga mengucapkan, “Aku tidak heran
melihat cintaku pada-Mu, karena aku
hanyalah hamba yang hina. Tetapi aku heran
melihat cinta-Mu padaku, karena Engkau
adalah Raja Maha Kuasa.”
Kara-kata ini menggambarkan bahwa cinta
mendalam Abu Yazid telah dibalas Tuhan.
Lalu, dia berkata lagi, “Aku tidak meminta dari
Tuhan kecuali Tuhan.”
Seperti halnya Rabi’ah yang tidak meminta
surga dari Tuhan dan pula tidak meminta
dijauhkan dari neraka dan yang
dikehendakinya hanyalah berada dekat dan
bersatu dengan Tuhan. Dalam mimpi ia
bertanya, “Apa jalannya untuk sampai
kepadaMu?”
Tuhan menjawab, “Tinggalkan dirimu dan
datanglah.” Akhirnya Abu Yazid dengan
meninggalkan dirinya mengalami fana, baqa’
dan ittihad.
Masalah ittihad, Abu Yazid menggambarkan
dengan kata-kata berikut ini, “Pada suatu
ketika aku dinaikkan kehadirat Tuhan dan Ia
berkata, Abu Yazid, makhluk-Ku ingin melihat
engkau. Aku menjawab, kekasih-Ku, aku tak
ingin melihat mereka. Tetapi jika itu
kehendak-Mu, aku tak berdaya menentang-
Mu. Hiasilah aku dengan keesaan-Mu,
sehingga jika makhluk-Mu melihat aku,
mereka akan berkata, telah kami lihat Engkau.
Tetapi yang mereka lihat sebenarnya adalah
Engkau, karena ketika itu aku tak ada di
sana.”
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini
menggambarkan bahwa ia dekat sekali
dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk
mengalihkan perhatian Abu Yazid ke makhluk-
Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta
bersatu dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-
katanya, “Hiasilah aku dengan keesaan-Mu.”
Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan
terjadilah persatuan, sebagaimana terungkap
dari kata-kata berikut ini, “Abu Yazid,
semuanya kecuali engkau adalah makhluk-
Ku.” Akupun berkata, aku adalah Engkau,
Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”
Dalam literatur tasawuf disebut bahwa dalam
ittihad, yang satu memanggil yang lain
dengan kata-kata: Ya ana (Hai aku). Hal ini
juga dialami Abu Yazid, seperti kelihatan
dalam ungkapan selanjutnya, “Dialog pun
terputus, kata menjadi satu, bahkan
seluruhnya menjadi satu. Maka Ia pun berkata
kepadaku, “Hai Engkau, aku menjawab melalui
diri-Nya “Hai Aku.” Ia berkata kepadaku,
“Engkaulah Yang Satu.” Aku menjawab,
“Akulah Yang Satu.” Ia berkata lagi, “Engkau
adalah Engkau.” Aku menjawab: “Aku adalah
Aku.”
Yang penting diperhatikan dalam ungkapan
diatas adalah kata-kata Abu Yazid “Aku
menjawab melalui diriNya” (Fa qultu bihi).
Kata-kata bihi -melalui diri-Nya-
menggambarkan bersatunya Abu Yazid
dengan Tuhan, rohnya telah melebur dalam
diri Tuhan. Ia tidak ada lagi, yang ada
hanyalah Tuhan. Maka yang mengatakan “Hai
Aku Yang Satu” bukan Abu Yazid, tetapi
Tuhan melalui Abu Yazid.
Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-
kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada
dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada
lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-
olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai
sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata,
“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar
Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku,
maka sembahlah Aku.”
Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang
diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak
berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan.
Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar,
dan sebagaimana dilihat pada permulaan
makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan,
sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja,
tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar
tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh
dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia.
Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas
betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan
kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya
Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia
pun mengatakan, “Pergilah, tidak ada di
rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di
dalam jubah ini tidak ada selain Allah.”
Yang mengucapkan kata-kata itu memang
lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung
pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan.
Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan
melalui lidah Abu Yazid.
Sufi lain yang mengalami persatuan dengan
Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj
(858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan
Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi
hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan
debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini
karena dia mengatakan, “Ana ‘l-Haqq (Akulah
Yang Maha Benar).
Pengalaman persatuannya dengan Tuhan
tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu
Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu
dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami
persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi.
Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat
ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan
yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.
Di sini terdapat juga konsep fana, yang
dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum
tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia
mempunyai dua sifat dasar: nasut
(kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan).
Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat
dasar, lahut (ketuhanan)
dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa
Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai
sifat diambil dari hadits yang menegaskan
bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai
dengan bentuk-Nya.
Hadits ini mengandung arti bahwa didalam
diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang
disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam
diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah
yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat
jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:
Maha Suci Diri Yang Sifat kemanusiaan-Nya
Membukakan rahasia cahaya ketuhanan-Nya
yang gemilang
Kemudian kelihatan bagi makhluk-Nya
dengan nyata
Dalam bentuk manusia yang makan dan
minum
Dengan membersihkan diri malalui ibadat
yang banyak dilakukan, nasut manusia lenyap
dan muncullah lahut-nya dan ketika itulah
nasut Tuhan turun bersemayam dalam diri
sufi dan terjadilah hulul.
Hal itu digambarkan al-Hallaj dalam syair
berikut ini:
Jiwa-Mu disatukan dengan jiwaku
Sebagaimana anggur disatukan dengan air
suci
Jika Engkau disentuh, aku disentuhnya pula
Maka, ketika itu -dalam tiap hal- Engkau
adalah aku.
Hulul juga digambarkan dalam syair berikut:
Aku adalah Dia yang kucintai
Dan Dia yang kucintai adalah aku,
Kami adalah dua jiwa yang menempati satu
tubuh,
Jika Engkau lihat aku, engkau lihat Dia,
Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat Kami.
Ketika mengalami hulul yang digambarkan
diatas itulah lidah al-Hallaj mengucapkan,
“Ana ‘l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).
Tetapi sebagaimana halnya dengan Abu
Yazid, ucapan itu tidak mengandung arti
pengakuan al-Hallaj dirinya menjadi Tuhan.
Kata-kata itu adalah kata-kata Tuhan yang Ia
ucapkan melalui lidah al-Hallaj. Sufi yang
bernasib malang ini mengatakan,
“Aku adalah rahasia Yang Maha Benar,
Yang Maha Benar bukanlah Aku,
Aku hanya satu dari yang benar,
Maka bedakanlah antara kami.”
Syatahat atau kata-kata teofani sufi seperti
itu membuat kaum syari’at menuduh sufi
telah menyeleweng dari ajaran Islam dan
menganggap tasawuf bertentangan dengan
Islam. Kaum syari’at yang banyak terikat
kepada formalitas ibadat, tidak menangkap
pengalaman sufi yang mementingkan hakekat
dan tujuan ibadat, yaitu mendekatkan diri
sedekat mungkin kepada Tuhan.
Dalam sejarah Islam memang terkenal adanya
pertentangan keras antara kaum syari’at dan
kaum hakekat, gelar yang diberikan kepada
kaum sufi. Pertentangan ini mereda setelah
al-Ghazali datang dengan pengalamannya
bahwa jalan sufilah yang dapat membawa
orang kepada kebenaran yang menyakinkan.
Al-Ghazali menghalalkan tasawuf sampai
tingkat ma’rifah, sungguhpun ia tidak
mengharamkan tingkat fana’, baqa, dan
ittihad. Ia tidak mengkafirkan Abu Yazid dan
al-Hallaj, tapi mengkafirkan al-Farabi dan Ibn
Sina.
Kalau filsafat, setelah kritik al-Ghazali dalam
bukunya Tahafut al-Falasifah, tidak
berkembang lagi di dunia Islam Sunni, tasawuf
sebaliknya banyak diamalkan, bahkan oleh
syariat sendiri. Dalam perkembangan
selanjutnya, setelah pengalaman persatuan
manusia dengan Tuhan yang dibawa al-
Bustami dalam ittihad dan al-Hallaj dalam
hulul, Muhy al-Din Ibn ‘Arabi (1165-1240)
membawa ajaran kesatuan wujud makhluk
dengan Tuhan dalam wahdat al-wujud.
Lahut dan nasut, yang bagi al-Hallaj
merupakan dua hal yang berbeda, ia satukan
menjadi dua aspek. Dalam pengalamannya,
tiap makhluk mempunyai dua aspek. Aspek
batin yang merupakan esensi, disebut al-
haqq, dan aspek luar yang merupakan aksiden
disebut al-khalq. Semua makhluk dalam
aspek luarnya berbeda, tetapi dalam aspek
batinnya satu, yaitu al-haqq. Wujud
semuanya satu, yaitu wujud al-haqq.
Tuhan, sebagaimana disebut dalam Hadits
yang telah dikutip pada permulaan, pada
awalnya adalah “harta” tersembunyi,
kemudian Ia ingin dikenal maka diciptakan-
Nya makhluk, dan melalui makhluklah Ia
dikenal. Maka, alam sebagai makhluk, adalah
penampakan diri atau tajalli dari Tuhan. Alam
sebagai cermin yang didalamnya terdapat
gambar Tuhan. Dengan kata lain, alam adalah
bayangan Tuhan. Sebagai bayangan, wujud
alam tak akan ada tanpa wujud Tuhan. Wujud
alam tergantung pada wujud Tuhan. Sebagai
bayangan, wujud alam bersatu dengan wujud
Tuhan dalam ajaran wahdat al-wujud.
Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak
tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak
ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya
dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat
dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan
banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya
satu. Yang lain dan yang banyak adalah
bayangannya.
Oleh karena itu ada orang yang
mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn
Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa
yang disebut Tuhan adalah alam semesta.
Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan
alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi,
sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya,
Tuhan adalah transendental dan bukan
imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di
dalam alam. Alam hanya merupakan
penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.
Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan
ini selanjutnya membawa pada ajaran al-
Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama
oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428).
Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau
penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap
tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.
Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam
keabsolutannya baru keluar dari al-‘ama,
kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada
tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah
muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial.
Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri
dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada
makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya,
pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya
dengan segala sifat-Nya.
Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau
penampakan diri Tuhan yang paling sempurna
diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya
tidak sama pada semua manusia. Tajalli
Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan
Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil,
sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian)
melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan
khitam.
Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-
nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang
demikian, Tuhan menampakkan diri dalam
nama-nama-Nya, seperti Pengasih,
Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-
asma ). Pada tingkat tawassut, sufi disinari
oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu,
qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi
demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat
khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan
demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-
Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan
Kamil. Ia menjadi manusia sempurna,
mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya
terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah
bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah
yang menjadi perantara antara manusia dan
Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para
Nabi dan para wali. Di antara semuanya,
Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam
diri Nabi Muhammad.
Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat
mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai
malalui ittihad serta hulul yang mengandung
pengalaman persatuan roh manusia dengan
roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang
mengandung arti penampakan diri atau tajalli
Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.
Sementara itu tasawuf pada masa awal
sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam
arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh
murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar
untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara
tarekat-tarekat besar yang terdapat di
Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada
abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran
Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M),
Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14
bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w.
1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar
(w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada
abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-
tarekat besar lain diantaranya adalah
Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia,
Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria,
Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan
Rifa’iah di Irak, Suria dan Mesir.
Dalam tarekat, ajaran-ajaran sufi besar
tersebut terkadang diselewengkan, sehingga
tarekat menyimpang dari tujuan sebenarnya
dari sufi untuk menyucikan diri dan berada
dekat dengan Tuhan. Tarekat ada yang telah
menyalahi ajaran dasar sufi dan syari’at
Islam, sehingga timbullah pertentangan
antara kaum syari’at dan kaum tarekat.
Sementara itu ada pula tarekat yang
menekankan pentingnya kehidupan rohani dan
mengabaikan kehidupan duniawi, dan
disamping itu menekankan ajaran tawakal
sufi, sehingga mengabaikan usaha. Dengan
kata lain, yang dikembangkan tarekat adalah
orientasi akhirat dan sikap tawakal.
Perlu ditegaskan bahwa sampai permulaan
abad ke-20, tarekat mempunyai pengaruh
besar dalam masyarakat Islam. Karena
pengaruh besar itu, orang-orang yang ingin
mendapat dukungan dari masyarakat menjadi
anggota tarekat. Di Turki Usmani, tentara
menjadi anggota tarekat Bekhtasyi dan dalam
perlawanan mereka terhadap pembaharuan
yang diadakan sultan-sultan, mereka
mendapat sokongan dari tarekat Bekhtasyi
dan para ulama Turki.
Karena pengaruh besar dalam masyarakat itu
orientasi akhirat dan sikap tawakal
berkembang di kalangan umat Islam yang
bekas-bekasnya masih ada pada kita sampai
sekarang. Untuk itu tidak mengherankan kalau
pemimpin-pemimpin pembaharuan dalam
Islam seperti Jamaluddin Afghani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha dan terutama Kamal
Ataturk memandang tarekat sebagai salah
satu faktor yang membawa kepada
kemunduran umat Islam.
Dalam pada itu dunia dewasa ini dilanda oleh
materialisme yang menimbulkan berbagai
masalah sosial yang pelik. Banyak orang
mengatakan bahwa dalam menghadapi
meterialisme yang melanda dunia sekarang,
perlu dihidupkan kembali spiritualisme. Disini
tasawuf dengan ajaran kerohanian dan akhlak
mulianya dapat memainkan peranan penting.
Tetapi untuk itu yang perlu ditekankan tarekat
dalam diri para pengikutnya adalah penyucian
diri dan pembentukan akhlak mulia disamping
kerohanian dengan tidak mengabaikan
kehidupan keduniaan.
Minggu, 14 September 2014
Wejangan Krisna kepada Arjuna sebelum perang
perang melawan Karna
Krishna:
Apa yang kusampaikan kepadamu bukanlah
hal baru;
sudah berulang kali kusampaikan di masa
lalu.
Arjuna:
Apa maksudmu dengan masa lalu? Kapan?
Krishna:
Dari masa ke masa, di setiap masa.
Sesungguhnya kita semua telah berulang kali
lahir dan mati,aku mengingat setiap kelahiran
dan kematian.
Kau tidak, itu saja bedanya.
Setiap kali keseimbangan alam
terkacaukan,dan ketakseimbangan
mengancam keselarasan alam,maka “Aku”
menjelma dari masa ke masa,
untuk mengembalikan keseimbangan alam.
“Aku” ini bersemayam pula di dalam
dirimu,bahkan di dalam diri setiap makhluk
hidup,segala sesuatu yang bergerak maupun
tak bergerak.
Menemukan “Sang Aku” ini merupakan
pencapaian tertinggi.
Dengan menemukan jati diri, Sang Aku
Sejati,segala apa yang kau butuhkan akan kau
peroleh dengan sangat mudah.
Berkaryalah dan Keberadaan akan
membantumu.
Sesuai dengan sifat dasar masing-
masing,Manusia dibagi dalam 4 golongan
utama.
Walau pembagian seperti itu,Tidak pernah
mempengaruhi Sang Jiwa Agung.
Para Pemikir bekerja dengan berbagai pikiran
mereka.
Para Satria membela negara dan bangsa.
Para Pengusaha melayani masyarakat dengan
berbagai cara.
Para Pekerja melaksanakan setiap tugas
dengan baik.
Berada dalam kelompok manapun,bekerjalah
selalu sesuai kesadaranmu.
Jangan memikirkan keberhasilan maupun
kegagalan.
Terima semuanya dengan penuh ketenangan.
Bila kau bekerja sesuai dengan kodratmu,
tidak untuk memenuhi keinginan serta
harapan tertentu, maka walau berkarya
sesungguhnya kau melakukan persembahan.
Dan, kau terbebaskan dari hukum sebab
akibat.
Tuhan yang kau sembah, juga adalah
Persembahan itu sendiri.
Dalam diri seorang penyembahpun, Ia
bersemayam.
Berkaryalah dengan kesadaran ini,dan
senantiaasa merasakan kehadiran-Nya.
Banyak sekali cara persembahan – Ada yang
menghaturkan sesajen dalam berbagai bentuk.
Ada pula yang menghaturkan kesadaran
hewani pada “Sang Aku” – sejati yang
bersemayam di dalam diri.
Bila kau mempersembahkan kenikmatan dunia
pada pancaindera, maka kau menjadi
penyembah pancaindera.
Bila kau mengendalikan pancaindera,maka
kau menyembah Kesadaran Murni di dalam
diri.
Ada yang mempersembahkan harta, ada yang
bertapa,Ada yang berkorban, ada yang
menjauhkan diri dari dunia,Ada yang sibuk
mempelajari kitab suci, ada yang berpuasa.
Apapun yang kau lakukan, lakukanlah dengan
kesadaran!
Langkah berikutnya:
Lakoni hidupmu seolah kau sedang melakukan
persembahan.
Berkarya dengan penuh kesadaran, itulah
Pengabdian.
Cara-cara lain hanya bersifat luaran.
Terlebih dahulu, raihlah kesadaran diri.
Bila kau tidak mengetahui caranya,Belajarlah
dari mereka yang telah sadar.
Untuk itu hendaknya kau berendah hati.
Orang yang sadar tidak pernah bingung.
Pandangannya meluas, penglihatannya
menjernih, ia yakin dengan apa yang
dilakukannya,Sehingga meraih kedamaian
yang tak terhingga nilainya.
Arjuna:
Bila Pengendalian Diri dan Penemuan Jati Diri
merupakan tujuan hidup,maka untuk apa
melibatkan diri dengan dunia?
Aku sungguh tambah bingung.
Krishna:
Pengendalian Diri dan Penemuan Jati Diri
memang merupakan tujuan tertinggi.
Namun, kau harus berkarya untuk
mencapainya.
Dan, berkarya sesuai dengan kodratmu.
Bila kau seorang Pemikir,kau dapat
menggapai Kesempurnaan Diri dengan cara
mengasah kesadaranmu saja.
Bila kau seorang Pekerja,kau harus
menggapainya lewat Karya Nyata,dengan
menunaikan kewajibanmu, serta
melaksanakan tugasmu.
Dan, kau seorang Pekerja,kau hanya dapat
mencapai Kesempurnaan Hidup lewat Kerja
Nyata.
Itulah sifat-dasarmu, kodratmu.
Sesungguhnya tak seorang pun dapat
menghindari perkerjaan.
Seorang Pemikir pun sesungguhnya bekerja.
Pengendalian Pikiran – itulah pekerjaannya.
Bila pikiran masih melayang ke segala
arah,apa gunanya duduk diam dan menipu
diri?
Lebih baik berkarya dengan pikiran terkendali.
Bekerjalah tanpa pamrih!
Hukum Sebab Akibat menentukan hasil
perbuatan setiap makhluk hidup.
Tak seorang pun luput darinya,kecuali ia
berkarya dengan semangat menyembah.
Alam Semesta tercipta “dalam”
semangat Persembahan.
Dan, “lewat” Persembahan pula segala
kebutuhan manusia terpenuhi.
Bila kau menjaga kelestarian
lingkungan,lingkungan pun pasti menjaga
kelestarianmu.
Raihlah kebahagiaan tak terhingga dengan
saling “menyembah” – membantu dan
melindungi.
Bila kau hanya berkarya demi kepentingan
pribadi,tak pernah berbagi dan tak peduli
terhadap alam yang senantiasa memberi;
maka seseungguhnya kau seorang maling.
Berkaryalah dengan semangat “menyembah”.
Persembahkan hasil pekerjaanmu pada Yang
Maha Kuasa.
Dan, nikmati segala apa yang kau peroleh
dari-Nya sebagai Tanda Kasih-Nya!
Apa yang kau makan, menentukan kesehatan
dirimu.
Dan, makanan berasal dari alam sekitarmu.
Bila kau menjaga kelestarian
alam,kesehatanmu pun akan terjaga – inilah
Kesadaran.
Waspadai setiap tindakanmu.
Bertindaklah dengan penuh kesadaran.
Inilah Persembahan,yang dapat mengantarmu
pada Kepuasan Diri.
Bila kau puas dengan diri sendiri,dan tidak
lagi mencari kepuasaan dari sesuatu di luar
diri,maka kau akan berkarya tanpa pamrih.
Sesungguhnya seorang Pekerja tanpa Pamrih
sudah tak terbelenggu oleh dunia.
Jiwanya bebas, namun ia tetap bekerja,supaya
orang lain dapat mencontohinya.
Sesungguhnya tak ada sesuatu yang harus
“Ku”-lakukan.
Namun, “Aku” tetap bekerja demi Keselarasan
Alam.
Bila “Aku” berhenti bekerja, banyak yang akan
mencontohi tindakan-“Ku”,
dan “Aku” akan menjadi sebab bagi kacaunya
tatanan masyarakat.
Ketahuilah bahwa segala sesuatu terjadi atas
Kehendak-Nya.
Tak seorang pun dapat menghindari
pekerjaan,kau akan didorong untuk
menunaikan kewajibanmu.
Maka, janganlah berkeras kepala – bekerjalah!
Terpicu oleh hal-hal di luar,panca-indera pun
bekerja sesuai dengan kodrat mereka.
Janganlah kau terlibat dalam permainan itu.
Jadilah saksi, kau bukan panca-indera.
Berkat pengendalian diri bila inderamu tak
terpicu lagi oleh hal-hal luaran,hendaknya kau
tidak membingungkan mereka yang belum
dapat melakukan hal itu.
Biarlah mereka menghindari pemicu di luar
untuk mengendalikan diri.
Berkayalah demi “Aku” dengan kesadaranmu
terpusatkan pada-”Ku”,bebas dari harapan
dan ketamakan – itulah Persembahan,
Pengabdian.
Para bijak berkarya sesuai dengan sifat
mereka, kodrat serta kemampuan mereka.
Demikian mereka terbebaskan dari rasa
gelisah, dan mencapai kesempurnaan hidup.
Berkaryalah sesuai dengan kemampuan serta
kewajibanmu.
Janganlah engkau sekadar ikut-ikutan
memilih
suatu pekerjaan yang tidak sesuai dengan
sifat dasarmu,tidak sesuai dengan
kemampuanmu.
Arjuna:
Aku memahami semua itu,namun kadang
tetap saja terpicu untuk melakukan sesuatu
yang tidak tepat.
Bagaimana mengatasi hal itu?
Krishna:
Ketahuilah terlebih dahulu penyebabnya –
yaitu “keinginan”, “ketamakan” dan sifat dasar
manusia yang membuatnya bekerja.
Manusia tak dapat berhenti bekerja.
Bila ia tidak bekerja tanpa pamrih,Ia akan
bekerja untuk memenuhi keinginannya.
Ketamakan melenyapkan kesadaran
manusia,akhirnya ia binasa terbakar oleh api
nafsunya sendiri Kunci keberhasilan manusia
terletak pada pengedalian diri.
Bila terkendali oleh pancaindera kau pasti
binasa.
Ketahuilah bahwa panca indera
mengendalikan raga,namun pikiran menguasai
pancaindera.
Di atas pikiran adalah intelek,kemampuanmu
untuk membedakan tindakan yang tepat dari
yang tidak tepat – itulah Kesadaran.
Bertindakalah sesuai dengan kesadaranmu.
Dengan pengendalian diri dan bekerja sesuai
dengan kesadaran,segala keinginan dan
ketamakan dapat kau lampaui.
Kemudian setiap pekerjaan menjadi
persembahan pada “Sang Aku” yang
bersemayam dalam diri setiap makhluk.
Krishna:
Kau tidak berperang untuk memperebutkan
kekuasaan;
kau berperang demi keadilan, untuk
menegakkan Kebajikan.
Janganlah kau melemah di saat yang
menentukan ini.
Bangkitlah demi bangsa, negeri, dan Ibu
Pertiwi.
Arjuna:
Dan, untuk itu aku harus memerangi keluarga
sendiri?
Krishna, aku bingung, tunjukkan jalan
kepadaku.
Krishna:
Kau berbicara seperti seorang bijak,namun
menangisi sesuatu yang tak patut kau tangisi.
Seorang bijak sadar bahwa kelahiran dan
kematian,dua-duanya tak langgeng.
Jiwa yang bersemayam dalam diri setiap
insan,sungguhnya tak pernah lahir dan tak
pernah mati.
Badan yang mengalami kelahiran dan
kematian ibarat baju yang dapat kau
tanggalkan sewaktu-waktu
dan menggantinya dengan yang baru.
Perubahan adalah Hukum Alam – tak patut
kau tangisi.
Suka dan duka hanyalah perasaan
sesaat,disebabkan oleh panca-inderamu
sendiri ketika berhubungan dengan hal-hal di
luar diri.
Lampauilah perasaan yang tak langgeng itu.
Temukan Kebenaran Mutlakdi balik segala
pengalaman dan perasaan.
Kebenaran Abadi, Langgeng dan Tak
Termusnahkan.
Segala yang lain diluar-Nya sesungguhnya
tak ada – tak perlu kau risaukan.
Temukan Kebenaran Abadi Itu, Dia Yang Tak
Terbunuh dan Tak Membunuh.
Dia Yang Tak Pernah Lahir dan Tak pernah
Mati.
Dia Yang Melampaui Segala dan Selalu Ada.
Kau akan menyatu dengan-Nya,bila kau
menemukan-Nya.
Karena, sesungguhnya Ialah yang
bersemayam di dalam dirimu, diriku, diri
setiap insan.
Maka, saat itu pula kau akan terbebaskan dari
suka, duka, rasa gelisah dan bersalah.
Kebenaran Abadi Yang Meliputi Alam
Semesta, tak terbunuh oleh senjata seampuh
apapun jua.
Tak terbakar oleh api, tak terlarutkan oleh air,
dan tidak menjadi kering karena angin.
Sementara itu, wujud-wujud yang terlihat
olehmu muncul dan lenyap secara bergantian.
“Keberadaan” muncul dari “Ketiadaan”
dan lenyap kembali dalam “Ketiadaan”.
Jiwa tak berubah dan tak pernah mati;
hanyalah badan yang terus-menerus
mengalami kelahiran dan kematian.
Apa yang harus kau tangisi?
Badanmu lahir dalam keluarga para Satria,ia
memiliki tugas untuk membela negara dan
bangsa.
Bila kau melarikan diri dari
tanggungjawabmu, kelak sejarah akan
menyebutmu pengecut.
Bila kau gugur di medan perang,
kau akan mati syuhda, namamu tercatat
sebagai pahlawan.
Dan, bila kau menang, rakyat ikut merayakan
menangnya Kebajikan atas kebatilan
Sesungguhnya kau tak perlu memikirkan
kemenangan dan kekalahan.
Lakukan tugasmu dengan baik.
Berkaryalah demi kewajibanmu.
Janganlah membiarkan pikiranmu bercabang,
bulatkan tekadmu, dan dengan keteguhan hati,
tentukan sendiri
jalan apa yang terbaik bagi dirimu.
Berkaryalah demi tugas dan kewajiban, bukan
demi surga, apa lagi kenikmatan dunia.
Janganlah kau merisaukan hasil akhir, tak
perlu memikirkan kemenangan maupun
kegagalan.
Dengan jiwa seimbang, dan tak terikat pada
pengalaman suka maupun duka, berkaryalah
dengan penuh semangat!
Bebaskan pikiranmu dari pengaruh luar;
dari pendapat orang tentang dirimu, dan apa
yang kau lakukan.
Ikuti suara hatimu, nuranimu.
Arjuna:
Bagaimana Krishna, bagaimana
mendengarkan suara hati?
Krishna:
Bebas dari segala macam keinginan dan
pengaruh pikiran, kau akan mendengarkan
dengan jelas
suara hatimu – itulah Pencerahan!
Saat itu, kau tak tergoyahkan lagi oleh
pengalaman duka, dan tidak pula mengejar
pengalaman suka.
Rasa cemas dan amarah pun terlampaui
seketika.
Krishna:
Ia yang tercerahkan tidak menjadi girang
karena memperoleh sesuatu;
tidak pula kecewa bila tidak memperolehnya.
Dirinya selalu puas, dalam segala keadaan.
Pengendalian Diri yang sampurna
membuatnya tidak terpengaruh oleh pemicu-
pemicu di luar.
Ia senantiasa sadar akan Jati-Dirinya.
Krishna:
Keterlibatan panca-indera dengan pemicu-
pemicu di luar
menimbulkan kerinduan,
kemudian muncul keinginan.
Dan, bila keinginan tak terpenuhi,
timbul rasa kecewa, amarah.
Manusia tak mampu lagi membedakan
tindakan yang tepat dari yang tidak tepat.
Krishna:
Seorang bijak yang tercerahkan terkendali
panca-inderanya, maka ia dapat hidup di
tengah keramaian dunia,
dan tak terpicu oleh hal-hal diluar diri.
Demikian dengan keseimbangan diri, ia
menggapai kesadaran yang lebih tinggi.
Jiwanya damai, dan ia pun
memperoleh Kebahagiaan Kekal Sejati.
Krishna:
Pengendalian Diri menjernihkan pandangan
manusia, ia menggapai kesempunaan hidup.
Saat ajal tiba, tak ada lagi kekhawatiran
baginya, ia menyatu kembali dengan Yang
Maha Kuasa.
Langganan:
Postingan (Atom)